Jakarta – Sekitar 15 orang dilaporkan meninggal dunia dan ribuan lainnya diungsikan akibat banjir dan longsor yang melanda beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan pada Jumat (03/05).
Menurut para pakar kebencanaan, pemerintah daerah dan pusat masih harus meningkatkan upaya mitigasi risiko untuk mencegah jatuhnya korban akibat bencana alam.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa sebanyak 14 orang meninggal dunia di Kabupaten Luwu akibat tertimbun longsor dan terseret banjir. Sementara itu, satu orang lainnya meninggal dunia di Kabupaten Sidenreng Rappang, yang biasa disebut Sidrap.
Selain Kabupaten Luwu dan Sidrap, banjir juga melanda Kabupaten Wajo, Sinjai, Enrekang, Pinrang, dan Soppeng.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Selatan melaporkan bahwa Luwu adalah kabupaten yang paling terdampak banjir. Ada 13 kecamatan di kabupaten itu yang terendam banjir.
Hingga Sabtu (4/5) pukul 09.00 WIB, sebanyak 2.052 kepala keluarga terdampak dan 115 jiwa di Kabupaten Luwu mengungsi di beberapa masjid dan rumah kerabat.
“Kerugian materil terdata kaji cepat antara lain sebanyak 1.943 unit rumah terdampak, 109 unit rumah rusak berat, 42 unit rumah hanyut, empat titik ruas jalan terdampak, satu unit jembatan terdampak, 14 unit kendaraan roda dua dan empat terdampak, serta lahan persawahan dan perkebunan warga terdampak,” sebut keterangan BNPB dan BPBD Sulsel.
Basarnas Sulawesi Selatan telah mengerahkan puluhan personel dari Kota Makassar dan daerah lainnya ke sejumlah lokasi bencana.
Warga Khawatir akan Bencana Susulan
Takdir (38), seorang warga di Desa Kasibiang, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, mengakui bahwa mereka merasa “ketakutan” akan ancaman banjir susulan.
Menurut Takdir, warga di desanya mulai waspada karena terdapat titik-titik longsor di pegunungan dekat desa mereka.
“Kita tetap waspada karena di wilayah pegunungan ada beberapa titik longsor. Jangan sampai tiba-tiba datang air bah,” ujarnya kepada wartawan Darul Amri yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Takdir menyebut bahwa beberapa saudaranya yang tinggal di Desa Malela Suli telah mengungsi sejak siang hingga malam. Beberapa pergi ke rumah keluarga terdekat atau masjid terdekat.
“Sudah banyak yang dievakuasi. Kendaraan tidak bisa masuk, bahkan motor trail pun kesulitan menembus karena jalanannya lumpur sampai di atas lutut,” kata Takdir.
BMKG Keluarkan Peringatan Siaga Bencana selama Tiga Hari di Sulsel
Kekhawatiran Takdir cukup beralasan mengingat Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar telah mengeluarkan peringatan siaga selama tiga hari ke depan untuk wilayah terdampak bencana.
Prakirawan BMKG IV Makassar, Amhar Ulfiana, menyebutkan bahwa potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang dan tanah longsor masih ada di beberapa daerah.
“Untuk hari ini, kami masih memberikan peringatan siaga, di atas tingkat waspada. Ada tiga tingkatan: waspada, siaga, dan kemudian awas,” jelasnya.
Peringatan siaga diberikan karena intensitas hujan diperkirakan masih lebat hingga sangat lebat.
“Seperti banjir dan tanah longsor, kami tetap memberikan peringatan siaga untuk besok dan lusa,” tambah Amhar.
Pemprov Sulsel Dikritik karena Tidak Melakukan Mitigasi Risiko
Ketua Research Institute of Disaster Engineering Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (Unhas), Dr. Ardy Arsyad, menilai bahwa Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan masih terlalu fokus pada upaya evakuasi darurat.
“Nanti terjadi longsor, baru ramai-ramai bikin gawat darurat, emergency, evakuasi, rehabilitasi. Tetapi ada yang kurang, menurut saya, yaitu mitigasi risiko atau manajemen risiko. Itu belum ditangani oleh semua pihak,” ungkap Arsyad.
Menurut Arsyad, pemerintah seharusnya melakukan tindakan pencegahan, termasuk pendataan daerah-daerah yang rawan bencana.
“Masalahnya sekarang adalah ada daerah yang rawan longsor tetapi pemetaan daerah rawan itu masih regional, tidak detail. Misalnya, dikatakan bahwa Toraja Utara rawan longsor, tetapi masyarakat ingin tahu di mana saja daerah rawan tersebut, bahkan hingga tingkat RT dan RW,” tegasnya.
Selain melakukan pendataan, Pemprov Sulsel juga perlu membuat peta risiko, kata Arsyad. Terutama karena rata-rata daerah yang berisiko tinggi memiliki kontur tanah yang labil, ditambah dengan pembukaan lahan dan perubahan iklim.
“Jadi, saran saya adalah pemerintah harus membuat panduan atau buku saku bagi masyarakat yang tinggal di daerah lereng, dan itu harus disosialisasikan. Buku tersebut harus berisi tentang bagaimana mengelola lahan di daerah lereng. Kita tidak bisa memaksa mereka untuk pindah, terutama jika mereka sudah memiliki lahan di sana,” jelas Arsyad.
Berdasarkan data BPBD Sulsel, sebanyak 43 orang meninggal dunia akibat bencana alam sepanjang tahun 2024 di Sulawesi Selatan.
Selain akibat banjir di Luwu dan Sidrap pada Mei 2024, puluhan orang juga tewas akibat tanah longsor di Tana Toraja pada pertengahan April lalu.
‘Semua Pihak Harus Terlibat dalam Mitigasi’
Kepala BPBD Sulsel, Amson Padolo, menyatakan bahwa mitigasi risiko seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab BPBD, tetapi juga berbagai instansi lainnya seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Balai Sungai.
“Kerusakan lingkungan bukanlah masalah BPBD, tetapi ada di kementerian terkait, seperti lingkungan hidup dan kehutanan. Banjir terkait dengan Balai Sungai. Jadi, ketika berbicara tentang mitigasi, semua pihak harus terlibat,” kata Amson Padolo.
Menurut Amson, pihaknya telah mengajukan masalah mitigasi bencana ini kepada Menteri Koordinator PMK agar semua instansi terkait dapat bergerak.
“Hampir semua provinsi menghadapi masalah serupa, jadi kami berharap ada koordinasi yang dipimpin oleh menteri koordinator agar melibatkan semua unit dalam upaya mitigasi,” lanjut Amson.
Sebelumnya, setelah bencana tanah longsor di Tana Toraja pada pertengahan April lalu, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menyatakan bahwa semua peralatan untuk deteksi dini bencana tanah longsor – mulai dari indikasi kawasan rawan hingga peringatan cuaca – sudah disediakan bagi pemerintah daerah.
Oleh karena itu, bencana yang menelan korban jiwa seharusnya bisa dihindari.
“Jadi penanggulangan bencana ini, ujung tombaknya pemerintah daerah. Sekarang informasi apa lagi yang diperlukan? Peta daerah sudah ada, peta risikonya sudah ada. Sekarang, prakiraan cuaca dari BMKG juga sudah ada di situ.
“Teknologi untuk melihat gejala alam sudah kami ajarkan. Proses belajar ini juga harus kita dorong ke pemerintah daerah,” tegas Abdul, seperti dikutip dari Antara.
Tinggalkan Balasan