Rokok Ilegal Diduga Penyebab Penerimaan Cukai Produk Tembakau Menurun

KBerita.com, Jakarta – Penerimaan cukai hasil tembakau Indonesia turun sebanyak Rp 5 triliun di 2023. Pada 2022, penerimaan cukai dari produk tembakau sebesar Rp 218 triliun, kemudian pada 2023 turun menjadi Rp 213 triliun.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad, menyatakan, penurunan ini belum tentu disebabkan karena masyarakat mengurangi konsumsi rokok.

“Penurunan cukai tembakau saat ini juga disebabkan oleh tingginya harga komoditas lain, seperti halnya bahan pokok. Sehingga dengan adanya kenaikan ini, masyarakat beralih ke rokok ilegal,” ujarnya, Senin (18/04/2024).

Tauhid lebih lanjut menambahkan bahwa kenaikan cukai juga berkaitan dengan situasi ekonomi. Kenaikan cukai yang terjadi ketika pertumbuhan ekonomi stagnan justru akan membuka ruang bagi para produsen rokok ilegal. Maka dari itu kebijakan pengendalian tembakau harus dilihat dari berbagai aspek, baik fiskal maupun non-fiskal.

Di sisi lain, pemerintah saat ini sedang membahas Rancangan Peraturan Pemerintah Kesehatan (RPP Kesehatan). Rancangan Peraturan ini merupakan aturan turunan dari Undang-undang Kesehatan yang mengandung banyak muatan, mulai dari persoalan tenaga kesehatan hingga pengetatan produk tembakau dari sisi fiskal dan non-fiskal.

Koordinator Bidang Hubungan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Feryando Agung, pada Diskusi di Gedung Tempo menyatakan, RPP Kesehatan akan berdampak pada industri tembakau. Hal-hal yang mencuat jadi pembahasan ialah kelangsungan industri, hubungan kerja, pemasukan bagi negara, dan komoditas tani.

“Kami menilai bahwa RPP ini sesungguhnya baik adanya, tapi dalam pelaksanaannya tentu menimbulkan dampak bagi industri,” kata Feryando.

Sementara itu, Pakar hukum Feri Amsori mengatakan,  publik dan organisasi masyarakat mesti terlibat dalam penyusunan kebijakan publik, termasuk RPP Kesehatan. Sebab yang akan terkena dampak dari kebijakan tersebut adalah publik sendiri. Sebaliknya, akan jadi preseden tidak baik bila peraturan disusun tidak mengajak bicara organisasi dan para pemangku kepentingan lainnya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *